PRINSIP – PRINSIP AKAD
Dalam bahasa
Arab istilah akad memiliki beberapa pengertian namun semuanya memiliki kesamaan
makna yaitu mengikat dua hal. Dua hal tersebut bisa konkret, bisa pula abstrak
semisal akad jual beli. Sedangkan
secara istilah akad adalah menghubungkan suatu kehendak suatu pihak dengan
pihak lain dalam suatu bentuk yang menyebabkan adanya kewajiban untuk
melakukan suatu hal. Contohnya adalah akad jual beli.
Di samping itu, akad juga memiliki makna luas yaitu kemantapan hati seseorang untuk harus melakukan sesuatu baik untuk dirinya sendiri ataupun orang lain. Berdasarkan makna luas ini maka nadzar dan sumpah termasuk akad
Di samping itu, akad juga memiliki makna luas yaitu kemantapan hati seseorang untuk harus melakukan sesuatu baik untuk dirinya sendiri ataupun orang lain. Berdasarkan makna luas ini maka nadzar dan sumpah termasuk akad
Hal-hal penting dalam Akad Keuangan
Syariah
Sistem
keuangan dan perbankan modern telah berusaha memenuhi kebutuhan manusia untuk
mendanai kegiatannya, bukan dengan dananya sendiri, melainkan dengan dana orang
lain, baik dengan menggunakan prinsip penyertaan dalam rangka pemenuhan
permodalan (equity financing) maupun dengan prinsip pinjaman dalam rangka
pemenuhan kebutuhan pembiayaan (debt financing). span class=”fullpost” Islam
mempunyai hukum sendiri untuk memenuhi kebutuhan tersebut, yaitu melalui
akad-akad bagi hasil (profit and loss sharing}, sebagai metode pemenuhan
kebutuhan permodalan (equity financing), dan akad-akad jual-beli (al bai’)
untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan (debt financing). Bank Islam tidak
menggunakan metode pinjam-meminjam uang dalam rangka kegiatan komersial, karena
setiap pinjam-meminjam uang yang dilakukan dengan persyaratan atau janji
pemberian imbalan adalah termasuk riba. Oleh karena itu mekanisme operasional
perbankan Syariah dijalankan dengan menggunakan piranti-piranti keuangan yang
mendasarkan pada prinsip-prinsip berikut:
a. Prinsip
Bagi Hasil (Profit and Loss Sharing)
Ada dua macam kontrak dalam kategori
ini yaitu: musyarakah (joint venture profit sharing) dan mudharabah (trustee
profit sharing).
1). Musyarakah (Joint Venture Profit
Sharing) Melalui kontrak ini, dua pihak atau lebih (termasuk bank dan lembaga
keuangan bersama nasabahnya) dapat mengumpulkan modal mereka untuk membentuk
sebuah perusahaan sebagai sebuah badan
hukum.. Untuk pembagian keuntungan, setiap pihak menerima bagian ke-untungan
secara proporsional dengan kontribusi Akad ini juga dapat dilaksanakan pada
mudharabah yang modal pokoknya dicicil, sedangkan usahanya berjalan terus
dengan modal yang tetap.
2). Mudharabah (Trustee Profit Sharing)
Kontrak mudharabah juga merupakan suatu bentuk equity financing, tetapi
mempunyai bentuk (feature) yang berbeda dari musyarakah. Pada mudharabah,
hubungan kontrak bukan antar pemberi modal, melainkan antara penyedia dana
(shahibul maal) dengan entrepreneur (mudharib). Pada kontrak mudharabah,
seorang mudharib (dapat berupa perorangan, rumah tangga perusahaan atau suatu
unit ekonomi, termasuk bank)
Ada
dua tipe mudharabah, yaitu
1.Mutlaqah (tidak terikat) dan
2.Muqayyadah (terikat).[12
b. Prinsip Jual-Beli
Pengertian
jual-beli meliputi berbagai akad pertukaran (exchange contract) antara suatu
barang dan jasa dalam jumlah tertentu atas barang dan jasa lainnya. Dalam hukum
ekonomi Islam, macam-macam jual-beli, termasuk jenis-jenis jual-beli yang
dilarang oleh Islam. Berdasarkan barang yang dipertukarkan, jual beli terbagi
empat macam :
1) Bai’ al muthlaqah, yaitu pertukaran
antara barang atau jasa dengan uang
2) Bai’ al muqayyadah, yaitu
jual-beli di mana pertukaran terjadi antara barang dengan barang (barter).
3) Bai’ al sharf, yaitu jual-beli
atau pertukaran antara satu mata uang asing dengan mata uang asing lain,
seperti antara rupiah dengan dolar, dolar dengan yen dan sebagainya.
4) Bai’ as salam adalah akad
jual-beli di mana pembeli membayar uang (sebesar harga) atas barang yang telah
disebutkan spesifikasinya,. Sedangkan pembagian jual beli berdasarkan harganya
terbagi empat macam :
1) Bai’ al murabahah adalah akad
jual-beli barang tertentu.
2) Bai’ al musawamah adalah
jual-beli biasa, di mana penjual tidak memberitahukan harga pokok dan
keuntungan yang didapatnya.
3) Bai’ al muwadha’ah yaitu
jual-beli di mana penjual melakukan penjualan dengan harga yang lebih rendah
daripada harga pasar atau dengan potongan (discount).
4) Bai’ al-tauliyah, yaitu jual beli
dimana penjual melakukan penjualan dengan harga yang sama dengan harga pokok
barang..
1.jenis-jenis jual-beli tersebut,
yang lazim digunakan sebagai model pembiayaan syariah adalah pembiayaan
berdasarkan prinsip bai’ al murabahah, bai’ as- salam dan bai’ al istishna’.
a. Al-Murabahah Murabahah adalah
salah satu bentuk jual-beli yang bersifat amanah. Bentuk jual-beli ini
berlandaskan pada sabda Rasulullah SAW dari Shuhaib ar Rumy r.a.: “Ada tiga hal
yang mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai (murabahah), muqaradhah
(nama lain dari mudharabah) dan mencampur tepung dengan gandum untuk
kepentingan rumah, bukan untuk diperjualbelikan.”(HR. Ibnu Majah) Al Murabahah
adalah kontrak jual-beli atas barang tertentu. Pada transaksi jual-beli
tersebut penjual harus menyebutkan dengan jelas barang yang diperjualbelikan
dan tidak termasuk barang haram. Demikian juga, harga pembelian dan keuntungan
yang diambil dan cara pembayarannya harus disebutkan dengan jelas. Dalam teknis
perbankan, murabahah adalah akad jual-beli antara bank selaku penyedia barang
(penjual) dengan nasabah yang memesan untuk membeli barang. Bank memperoleh
keuntungan dari jual-beli yang disepakati bersama.
b. Bai’ as Salam Secara etimologi
salam berarti salaf (dahulu). Bai’ as salam adalah akad jual-beli suatu barang
di mana harganya dibayar dengan segera, sedangkan barangnya akan diserahkan
kemudian dalam jangka waktu yang disepakatik.
c. Bai’ al-Istishna’ Bai’
al-Istishna’ adalah akad jual-beli antara pemesan/pembeli (mustashni’) dengan
produsen/penjual (shani’) di mana barang yang akan diperjualbelikan harus
dibuat lebih dulu dengan kriteria yang jelas.
c. Prinsip Qard
Qard adalah meminjamkan harta kepada
orang lain tanpa mengharap imbalan Dalam literatur fiqih qard dikategorikan sebagai
aqd tathawwu’, yaitu akad saling membantu dan bukan transaksi komersial.
5. Prinsip Al Wadi’ah
Wadi’ah menurut bahasa adalah
sesuatu yang diletakkan pada yang bukan pemiliknya untuk dijaga. Barang yang
dititipkan disebut ida’, yang menitipkan disebut mudi’ dan yang menerima
titipan disebut wadi”ah.
Ada dua tipe wadi’ah,
a). Wadi’ah Yad Amanah Wadi’ah yad amanah
adalah akad titipan di mana penerima titipan (custodian) adalah penerima
kepercayaan (trustee), artinya ia tidak diharuskan mengganti segala risiko
kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada aset titipan, kecuali bila hal itu
terjadi karena akibat kelalaian atau kecerobohan yang bersangkutan atau bila
status titipan telah berubah menjadi wadi’ah yad dhamanah. Di bawah prinsip yad
amanah ini aset titipan dari setiap pemilik harus dipisahkan, dan aset tersebut
tidak boleh dipergunakan dan custodian tidak berhak untuk memanfaatkan aset
titipan tersebut. Status penerima titipan berdasarkan wadi’ah yad amanah akan
berubah menjadi wadi’ah yad dhamanah apabila terjadi salah satu dari dua hal
ini: (1) harta dalam titipan telah dicampur, dan (2) custodian menggunakan
harta titipan. Penerapannya dalam perbankan dapat dilihat, misalnya dalam
pelayanan jasa penitipan surat-surat berharga (custodian).
b). Wadi’ah Yad Dhamanah Wadi’ah Yad Dhamanah
adalah akad titipan di mana penerima titipan (custodian) adalah trustee yang
sekaligus penjamin (guarantor) keamanan aset yang dititipkan. Penerima
simpanan bertanggung jawab penuh atas segala kehilangan atau kerusakan yang
terjadi pada aset titipan tersebut. Dengan prinsip ini, custodian menerima
simpanan harta dari pemiliknya yang memerlukan jasa penitipan, dan penyimpan
mempunyai kebebasan mutlak untuk menariknya kembali sewaktu-waktu. Di bawah
prinsip ini harta titipan tidak harus dipisahkan dan dapat di-gunakan dalam
perdagangan, dan custodian berhak atas pendapatan yang diperoleh dari
pemanfaatan harta titipan dalam perdagangan. Jadi, custodian memperoleh izin
dari pemilik harta untuk menggunakannya dalam perniagaan selama harta tersebut
berada di tangannya. Penyimpan sewaktu-waktu dapat menarik sebagian atau
seluruh harta yang mereka miliki. Dengan demikian mereka memerlukan jaminan
penerimaan kembali atas simpanan mereka. Semua keuntungan yang dihasilkan dari
penggunaan harta tersebut selama dalam status simpanan adalah menjadi hak
custodian. Tetapi custodian diperbolehkan memberikan bonus kepada pemilik harta
atas kehendaknya sendiri, tanpa diikat oleh perjanjian.
c.Prinsip Lainnya
a). Prinsip Rahn Rahn menurut
Syariah adalah menahan sesuatu dengan cara yang dibenarkan yang memungkinkan
untuk ditarik kembali.
b). Prinsip Wakalah Wakalah adalah
akad perwakilan antara dua pihak, di mana pihak pertama mewakilkan suatu urusan
kepada pihak kedua untuk bertindak atas nama pihak pertama.
Ada beberapa jenis wakalah, antara lain: Ø
Wakalah al mutlaqah, yaitu mewakilkan secara mutlak, tanpa batasan waktu dan
untuk segala urusan. Ø Wakalah al muqayyadah, yaitu penunjukan wakil untuk
bertindak atas namanya dalam urusan-urusan tertentu. Ø Wakalah al ammah,
perwakilan yang lebih luas dari al muqayyadah tetapi lebih sederhana daripada
al mutlaqah. Dalam aplikasinya pada perbankan Syariah, Wakalah biasanya
diterapkan untuk penerbitan Letter of Credit (L/C) atau penerusan permintaan
akan barang dalam negeri dari bank di luar negeri (L/C ekspor). Wakalah juga
diterapkan untuk mentransfer dana nasabah kepada pihak lain.
c). Prinsip Kafalah Istilah kafalah
menurut mazhab Hanafi adalah memasukkan tanggung jawab seseorang ke dalam
tanggung jawab orang lain dalam suatu tuntutan umum, dengan kata lain
menjadikan seseorang ikut bertanggung jawab atas tanggung jawab orang lain yang
berkaitan dengan masalah nyawa, utang atau barang.
Ada tiga jenis kafalah, yaitu:
1) Kafalah bin nafs, yaitu jaminan
dari diri si penjamin (personal guarantee);
2) Kafalah bil maal, yaitu jaminan
pembayaran utang atau pelunasan utang. Aplikasinya dalam perbankan dapat
berbentuk jaminan uang muka (advance payment bond) atau jaminan pembayaran (payment
bond).
3) Kafalah muallaqah, yaitu jaminan
mutlak yang dibatasi oleh kurun tertentu dan untuk tujuan tertentu. Dalam
perbankan modern hal ini diterapkan untuk jaminan pelaksanaan suatu proyek
(performance bonds) atau jaminan penawaran (bid bonds).
d). Prinsip Hawalah Hawalah adalah
akad pemindahan utang/piutang suatu pihak kepada pihak lain. Dalam hal ini ada
tiga pihak, yaitu pihak yang berutang (muhil atau madin), pihak yang memberi
utang (muhal atau da’in) dan pihak yang menerima pemindahan (muhal ‘alaih).
Menurut mazhab Hanafi ada dua jenis hawalah, yaitu:
1) Hawalah mutlaqah: Seseorang
memindahkan utangnya kepada orang lain dan tidak mengaitkan dengan utang yang
ada pada orang itu. Menurut ketiga mazhab lain selain Hanafi, kalau muhal
‘alaih tidak punya utang kepada muhil, maka hal ini sama dengan kafalah, dan
ini harus dengan keridaan tiga pihak (da’in, madin dan muhal ‘alaih).
2) Hawalah Muqayyadah: Seseorang
memindahkan utang dan mengaitkan dengan piutang yang ada padanya. Inilah
hawalah yang boleh (jaiz) berdasarkan kesepakatan para ulama. Ketiga mazhab
selain mazhab Hanafi hanya membolehkan hawalah muqayyadah dan mensyariatkan
pada hawalah muqayyadah agar utang muhal kepada muhil dan utang muhal ‘alaih
kepada muhil harus sama, baik sifat maupun jumlahnya. Kalau sudah sama jenis
dan jumlahnya maka sahlah hawalah. Kalau berbeda salah satunya, maka hawalah
tidak sah. Di pasar keuangan konvensional praktek hawalah dapat dilihat pada
transaksi anjak piutang (factoring). Namun sebagaimana diuraikan di atas,
kebanyakan ulama tidak memperbolehkan mengambil manfaat (imbalan) atas
pemindahan utang/piutang tersebut.
e). Prinsip Ju’alah Ju’alah adalah
suatu kontrak di mana pihak pertama menjanjikan imbalan tertentu kepada pihak
kedua atas pelaksanaan suatu tugas/ pelayanan yang dilakukan oleh pihak kedua
untuk kepentingan pihak pertama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar