Kamis, 26 April 2012
PRINSIP – PRINSIP AKAD
Dalam bahasa
Arab istilah akad memiliki beberapa pengertian namun semuanya memiliki kesamaan
makna yaitu mengikat dua hal. Dua hal tersebut bisa konkret, bisa pula abstrak
semisal akad jual beli. Sedangkan
secara istilah akad adalah menghubungkan suatu kehendak suatu pihak dengan
pihak lain dalam suatu bentuk yang menyebabkan adanya kewajiban untuk
melakukan suatu hal. Contohnya adalah akad jual beli.
Di samping itu, akad juga memiliki makna luas yaitu kemantapan hati seseorang untuk harus melakukan sesuatu baik untuk dirinya sendiri ataupun orang lain. Berdasarkan makna luas ini maka nadzar dan sumpah termasuk akad
Di samping itu, akad juga memiliki makna luas yaitu kemantapan hati seseorang untuk harus melakukan sesuatu baik untuk dirinya sendiri ataupun orang lain. Berdasarkan makna luas ini maka nadzar dan sumpah termasuk akad
Hal-hal penting dalam Akad Keuangan
Syariah
Sistem
keuangan dan perbankan modern telah berusaha memenuhi kebutuhan manusia untuk
mendanai kegiatannya, bukan dengan dananya sendiri, melainkan dengan dana orang
lain, baik dengan menggunakan prinsip penyertaan dalam rangka pemenuhan
permodalan (equity financing) maupun dengan prinsip pinjaman dalam rangka
pemenuhan kebutuhan pembiayaan (debt financing). span class=”fullpost” Islam
mempunyai hukum sendiri untuk memenuhi kebutuhan tersebut, yaitu melalui
akad-akad bagi hasil (profit and loss sharing}, sebagai metode pemenuhan
kebutuhan permodalan (equity financing), dan akad-akad jual-beli (al bai’)
untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan (debt financing). Bank Islam tidak
menggunakan metode pinjam-meminjam uang dalam rangka kegiatan komersial, karena
setiap pinjam-meminjam uang yang dilakukan dengan persyaratan atau janji
pemberian imbalan adalah termasuk riba. Oleh karena itu mekanisme operasional
perbankan Syariah dijalankan dengan menggunakan piranti-piranti keuangan yang
mendasarkan pada prinsip-prinsip berikut:
a. Prinsip
Bagi Hasil (Profit and Loss Sharing)
Ada dua macam kontrak dalam kategori
ini yaitu: musyarakah (joint venture profit sharing) dan mudharabah (trustee
profit sharing).
1). Musyarakah (Joint Venture Profit
Sharing) Melalui kontrak ini, dua pihak atau lebih (termasuk bank dan lembaga
keuangan bersama nasabahnya) dapat mengumpulkan modal mereka untuk membentuk
sebuah perusahaan sebagai sebuah badan
hukum.. Untuk pembagian keuntungan, setiap pihak menerima bagian ke-untungan
secara proporsional dengan kontribusi Akad ini juga dapat dilaksanakan pada
mudharabah yang modal pokoknya dicicil, sedangkan usahanya berjalan terus
dengan modal yang tetap.
2). Mudharabah (Trustee Profit Sharing)
Kontrak mudharabah juga merupakan suatu bentuk equity financing, tetapi
mempunyai bentuk (feature) yang berbeda dari musyarakah. Pada mudharabah,
hubungan kontrak bukan antar pemberi modal, melainkan antara penyedia dana
(shahibul maal) dengan entrepreneur (mudharib). Pada kontrak mudharabah,
seorang mudharib (dapat berupa perorangan, rumah tangga perusahaan atau suatu
unit ekonomi, termasuk bank)
Ada
dua tipe mudharabah, yaitu
1.Mutlaqah (tidak terikat) dan
2.Muqayyadah (terikat).[12
b. Prinsip Jual-Beli
Pengertian
jual-beli meliputi berbagai akad pertukaran (exchange contract) antara suatu
barang dan jasa dalam jumlah tertentu atas barang dan jasa lainnya. Dalam hukum
ekonomi Islam, macam-macam jual-beli, termasuk jenis-jenis jual-beli yang
dilarang oleh Islam. Berdasarkan barang yang dipertukarkan, jual beli terbagi
empat macam :
1) Bai’ al muthlaqah, yaitu pertukaran
antara barang atau jasa dengan uang
2) Bai’ al muqayyadah, yaitu
jual-beli di mana pertukaran terjadi antara barang dengan barang (barter).
3) Bai’ al sharf, yaitu jual-beli
atau pertukaran antara satu mata uang asing dengan mata uang asing lain,
seperti antara rupiah dengan dolar, dolar dengan yen dan sebagainya.
4) Bai’ as salam adalah akad
jual-beli di mana pembeli membayar uang (sebesar harga) atas barang yang telah
disebutkan spesifikasinya,. Sedangkan pembagian jual beli berdasarkan harganya
terbagi empat macam :
1) Bai’ al murabahah adalah akad
jual-beli barang tertentu.
2) Bai’ al musawamah adalah
jual-beli biasa, di mana penjual tidak memberitahukan harga pokok dan
keuntungan yang didapatnya.
3) Bai’ al muwadha’ah yaitu
jual-beli di mana penjual melakukan penjualan dengan harga yang lebih rendah
daripada harga pasar atau dengan potongan (discount).
4) Bai’ al-tauliyah, yaitu jual beli
dimana penjual melakukan penjualan dengan harga yang sama dengan harga pokok
barang..
1.jenis-jenis jual-beli tersebut,
yang lazim digunakan sebagai model pembiayaan syariah adalah pembiayaan
berdasarkan prinsip bai’ al murabahah, bai’ as- salam dan bai’ al istishna’.
a. Al-Murabahah Murabahah adalah
salah satu bentuk jual-beli yang bersifat amanah. Bentuk jual-beli ini
berlandaskan pada sabda Rasulullah SAW dari Shuhaib ar Rumy r.a.: “Ada tiga hal
yang mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai (murabahah), muqaradhah
(nama lain dari mudharabah) dan mencampur tepung dengan gandum untuk
kepentingan rumah, bukan untuk diperjualbelikan.”(HR. Ibnu Majah) Al Murabahah
adalah kontrak jual-beli atas barang tertentu. Pada transaksi jual-beli
tersebut penjual harus menyebutkan dengan jelas barang yang diperjualbelikan
dan tidak termasuk barang haram. Demikian juga, harga pembelian dan keuntungan
yang diambil dan cara pembayarannya harus disebutkan dengan jelas. Dalam teknis
perbankan, murabahah adalah akad jual-beli antara bank selaku penyedia barang
(penjual) dengan nasabah yang memesan untuk membeli barang. Bank memperoleh
keuntungan dari jual-beli yang disepakati bersama.
b. Bai’ as Salam Secara etimologi
salam berarti salaf (dahulu). Bai’ as salam adalah akad jual-beli suatu barang
di mana harganya dibayar dengan segera, sedangkan barangnya akan diserahkan
kemudian dalam jangka waktu yang disepakatik.
c. Bai’ al-Istishna’ Bai’
al-Istishna’ adalah akad jual-beli antara pemesan/pembeli (mustashni’) dengan
produsen/penjual (shani’) di mana barang yang akan diperjualbelikan harus
dibuat lebih dulu dengan kriteria yang jelas.
c. Prinsip Qard
Qard adalah meminjamkan harta kepada
orang lain tanpa mengharap imbalan Dalam literatur fiqih qard dikategorikan sebagai
aqd tathawwu’, yaitu akad saling membantu dan bukan transaksi komersial.
5. Prinsip Al Wadi’ah
Wadi’ah menurut bahasa adalah
sesuatu yang diletakkan pada yang bukan pemiliknya untuk dijaga. Barang yang
dititipkan disebut ida’, yang menitipkan disebut mudi’ dan yang menerima
titipan disebut wadi”ah.
Ada dua tipe wadi’ah,
a). Wadi’ah Yad Amanah Wadi’ah yad amanah
adalah akad titipan di mana penerima titipan (custodian) adalah penerima
kepercayaan (trustee), artinya ia tidak diharuskan mengganti segala risiko
kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada aset titipan, kecuali bila hal itu
terjadi karena akibat kelalaian atau kecerobohan yang bersangkutan atau bila
status titipan telah berubah menjadi wadi’ah yad dhamanah. Di bawah prinsip yad
amanah ini aset titipan dari setiap pemilik harus dipisahkan, dan aset tersebut
tidak boleh dipergunakan dan custodian tidak berhak untuk memanfaatkan aset
titipan tersebut. Status penerima titipan berdasarkan wadi’ah yad amanah akan
berubah menjadi wadi’ah yad dhamanah apabila terjadi salah satu dari dua hal
ini: (1) harta dalam titipan telah dicampur, dan (2) custodian menggunakan
harta titipan. Penerapannya dalam perbankan dapat dilihat, misalnya dalam
pelayanan jasa penitipan surat-surat berharga (custodian).
b). Wadi’ah Yad Dhamanah Wadi’ah Yad Dhamanah
adalah akad titipan di mana penerima titipan (custodian) adalah trustee yang
sekaligus penjamin (guarantor) keamanan aset yang dititipkan. Penerima
simpanan bertanggung jawab penuh atas segala kehilangan atau kerusakan yang
terjadi pada aset titipan tersebut. Dengan prinsip ini, custodian menerima
simpanan harta dari pemiliknya yang memerlukan jasa penitipan, dan penyimpan
mempunyai kebebasan mutlak untuk menariknya kembali sewaktu-waktu. Di bawah
prinsip ini harta titipan tidak harus dipisahkan dan dapat di-gunakan dalam
perdagangan, dan custodian berhak atas pendapatan yang diperoleh dari
pemanfaatan harta titipan dalam perdagangan. Jadi, custodian memperoleh izin
dari pemilik harta untuk menggunakannya dalam perniagaan selama harta tersebut
berada di tangannya. Penyimpan sewaktu-waktu dapat menarik sebagian atau
seluruh harta yang mereka miliki. Dengan demikian mereka memerlukan jaminan
penerimaan kembali atas simpanan mereka. Semua keuntungan yang dihasilkan dari
penggunaan harta tersebut selama dalam status simpanan adalah menjadi hak
custodian. Tetapi custodian diperbolehkan memberikan bonus kepada pemilik harta
atas kehendaknya sendiri, tanpa diikat oleh perjanjian.
c.Prinsip Lainnya
a). Prinsip Rahn Rahn menurut
Syariah adalah menahan sesuatu dengan cara yang dibenarkan yang memungkinkan
untuk ditarik kembali.
b). Prinsip Wakalah Wakalah adalah
akad perwakilan antara dua pihak, di mana pihak pertama mewakilkan suatu urusan
kepada pihak kedua untuk bertindak atas nama pihak pertama.
Ada beberapa jenis wakalah, antara lain: Ø
Wakalah al mutlaqah, yaitu mewakilkan secara mutlak, tanpa batasan waktu dan
untuk segala urusan. Ø Wakalah al muqayyadah, yaitu penunjukan wakil untuk
bertindak atas namanya dalam urusan-urusan tertentu. Ø Wakalah al ammah,
perwakilan yang lebih luas dari al muqayyadah tetapi lebih sederhana daripada
al mutlaqah. Dalam aplikasinya pada perbankan Syariah, Wakalah biasanya
diterapkan untuk penerbitan Letter of Credit (L/C) atau penerusan permintaan
akan barang dalam negeri dari bank di luar negeri (L/C ekspor). Wakalah juga
diterapkan untuk mentransfer dana nasabah kepada pihak lain.
c). Prinsip Kafalah Istilah kafalah
menurut mazhab Hanafi adalah memasukkan tanggung jawab seseorang ke dalam
tanggung jawab orang lain dalam suatu tuntutan umum, dengan kata lain
menjadikan seseorang ikut bertanggung jawab atas tanggung jawab orang lain yang
berkaitan dengan masalah nyawa, utang atau barang.
Ada tiga jenis kafalah, yaitu:
1) Kafalah bin nafs, yaitu jaminan
dari diri si penjamin (personal guarantee);
2) Kafalah bil maal, yaitu jaminan
pembayaran utang atau pelunasan utang. Aplikasinya dalam perbankan dapat
berbentuk jaminan uang muka (advance payment bond) atau jaminan pembayaran (payment
bond).
3) Kafalah muallaqah, yaitu jaminan
mutlak yang dibatasi oleh kurun tertentu dan untuk tujuan tertentu. Dalam
perbankan modern hal ini diterapkan untuk jaminan pelaksanaan suatu proyek
(performance bonds) atau jaminan penawaran (bid bonds).
d). Prinsip Hawalah Hawalah adalah
akad pemindahan utang/piutang suatu pihak kepada pihak lain. Dalam hal ini ada
tiga pihak, yaitu pihak yang berutang (muhil atau madin), pihak yang memberi
utang (muhal atau da’in) dan pihak yang menerima pemindahan (muhal ‘alaih).
Menurut mazhab Hanafi ada dua jenis hawalah, yaitu:
1) Hawalah mutlaqah: Seseorang
memindahkan utangnya kepada orang lain dan tidak mengaitkan dengan utang yang
ada pada orang itu. Menurut ketiga mazhab lain selain Hanafi, kalau muhal
‘alaih tidak punya utang kepada muhil, maka hal ini sama dengan kafalah, dan
ini harus dengan keridaan tiga pihak (da’in, madin dan muhal ‘alaih).
2) Hawalah Muqayyadah: Seseorang
memindahkan utang dan mengaitkan dengan piutang yang ada padanya. Inilah
hawalah yang boleh (jaiz) berdasarkan kesepakatan para ulama. Ketiga mazhab
selain mazhab Hanafi hanya membolehkan hawalah muqayyadah dan mensyariatkan
pada hawalah muqayyadah agar utang muhal kepada muhil dan utang muhal ‘alaih
kepada muhil harus sama, baik sifat maupun jumlahnya. Kalau sudah sama jenis
dan jumlahnya maka sahlah hawalah. Kalau berbeda salah satunya, maka hawalah
tidak sah. Di pasar keuangan konvensional praktek hawalah dapat dilihat pada
transaksi anjak piutang (factoring). Namun sebagaimana diuraikan di atas,
kebanyakan ulama tidak memperbolehkan mengambil manfaat (imbalan) atas
pemindahan utang/piutang tersebut.
e). Prinsip Ju’alah Ju’alah adalah
suatu kontrak di mana pihak pertama menjanjikan imbalan tertentu kepada pihak
kedua atas pelaksanaan suatu tugas/ pelayanan yang dilakukan oleh pihak kedua
untuk kepentingan pihak pertama
http://asdarmunandar.blogspot.com/2012/03/prinsip-dasar-dan-perkembangan-bank_3017.html
Secara garis besar Prinsip – Prinsip aqad dalam fiqih muamalah adalah sebagai berikut :
1. Aqad mudharabah
Ikatan atau aqad Mudharabah pada hakikatnya adalah ikatan penggabungan atau pencampuran berupa hubungan kerjasama antara Pemilik Usaha dengan Pemilik Harta
2. Aqad musyarakah
Ikatan atau aqad Musyarakah pada hakekatnya adalah ikatan penggabungan atau pencampuran antara para pihak yang bersama-sama menjadi Pemilik Usaha,
3. Aqad perdagangan
Aqad Fasilitas Perdagangan adalah perjanjian pertukaran yang bersifat keuangan atas suatu transaksi jual-beli dimana salah satu pihak memberikan fasilitas penundaan pembayaran atau penyerahan obyek sehingga pembayaran atau penyerahan tersebut tidak dilakukan secara tunai atau seketika pada saat transaksi.
4. Aqad ijarah
Aqad Ijarah adalah aqad pemberian hak untuk memanfaatkan Obyek melalui penguasaan sementara atau peminjaman Obyek dgn Manfaat tertentu dengan membayar imbalan kepada pemilik Obyek. Ijara mirip dengan leasing namun tidak sepenuhnya sama dengan leasing, karena Ijara dilandasi adanya perpindahan manfaat tetapi tidak terjadi perpindahan kepemilikan.
Prinsip Akad
1. Akad dalam jual beli, meliputi :
a. Salam
b. Istisha
c. Murabahah
d. Ba”I Al-wafa
e. Ba’I BBhidamanil Ajil
f. Ba’I Inah
g. Ba’I Tawarruq
h. Ba’I al-Dayn
2. Akad Kemitaraan, meliputi :
a. Mudharabah
b. Musyarakah
c. Muzara’ah
d. Musaqah
e. Mugharasah
3. Akad sewa, meliputi
a. Ijarah
b. Ijarah Muntahiya Bit-Tamlik
4. Akad Jasa meliputi :
a. Hawallah
b. Wadiah
c. Rahn
d. Wakalah
e. Kafalah
f. Ju’alah
g. Syuf’ah
h. Sharf
5. Akad social meliputi :
a. Ariyah ( pinjam meminjam )
b. Qard
c. Hibah
d. Sedekah
e. Hadiah
f. Zakat
g. Wakaf
Dr.Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah kencana (Jakarta:2011)
Macam-Macam Akad
Keuangan Syariah May 22, 2009
Posted by Maxzhum in : Tentang Ekonomi Islam , trackback
Postingan
ini saya Share-kan setelah mengalami kekalahan telak pada olimpiade di UMY
kemarin,23/Mei/2009.Untuk itu, Saya Copas (copy paste) kan sedikit materi
tersebut, untuk sekedar menambal kekurangan tersebut sekaligus untuk
mengingatkan pada moment berharga tersebut.
Hal-hal
penting dalam Akad Keuangan Syariah
Sistem
keuangan dan perbankan modern telah berusaha memenuhi kebutuhan manusia untuk
mendanai kegiatannya, bukan dengan dananya sendiri, melainkan dengan dana orang
lain, baik dengan menggunakan prinsip penyertaan dalam rangka pemenuhan
permodalan (equity financing) maupun dengan prinsip pinjaman dalam rangka
pemenuhan kebutuhan pembiayaan (debt financing). span class=”fullpost” Islam
mempunyai hukum sendiri untuk memenuhi kebutuhan tersebut, yaitu melalui
akad-akad bagi hasil (profit and loss sharing}, sebagai metode pemenuhan
kebutuhan permodalan (equity financing), dan akad-akad jual-beli (al bai’)
untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan (debt financing). Bank Islam tidak
menggunakan metode pinjam-meminjam uang dalam rangka kegiatan komersial, karena
setiap pinjam-meminjam uang yang dilakukan dengan persyaratan atau janji
pemberian imbalan adalah termasuk riba. Oleh karena itu mekanisme operasional
perbankan Syariah dijalankan dengan menggunakan piranti-piranti keuangan yang
mendasarkan pada prinsip-prinsip berikut:
a. Prinsip
Bagi Hasil (Profit and Loss Sharing)
Ada dua macam kontrak dalam kategori ini yaitu: musyarakah
(joint venture profit sharing) dan mudharabah (trustee profit sharing).
1). Musyarakah (Joint Venture Profit Sharing) Melalui
kontrak ini, dua pihak atau lebih (termasuk bank dan lembaga keuangan bersama
nasabahnya) dapat mengumpulkan modal mereka untuk membentuk sebuah perusahaan
(syirkah al inan)[9] sebagai sebuah badan hukum (legal entity). Setiap pihak
memiliki bagian secara proporsional sesuai dengan kontribusi modal mereka dan
mempunyai hak mengawasi (voting right) perusahaan sesuai dengan proporsinya.
Untuk pembagian keuntungan, setiap pihak menerima bagian ke-untungan secara
proporsional dengan kontribusi modal masing-masing atau sesuai dengan
kesepakatan yang telah ditentukan sebelumnya. Bila perusahaan merugi, maka
kerugian itu juga dibebankan secara proporsional kepada masing-masing pemberi
modal.[10] Aplikasinya dalam perbankan terlihat pada akad yang diterapkan pada
usaha atau proyek di mana bank membiayai sebagian saja dari jumlah kebutuhan
investasi atau modal kerjanya. Selebihnya dibiayai sendiri oleh nasabah. Akad ini
juga diterapkan pada sindikasi antar bank atau lembaga keuangan. Dalam kontrak
tersebut, salah satu pihak dapat mengambil alih modal pihak lain sedang pihak
lain tersebut menerima kembali modal mereka secara bertahap. Inilah yang
disebut Musyarakah al Mutanaqishah. Aplikasinya dalam perbankan adalah pada
pembiayaan proyek oleh bank bersama nasabahnya atau bank dengan lembaga
keuangan lainnya, di mana bagian dari bank atau lembaga keuangan diambil alih
oleh pihak lainnya dengan cara mengangsur. Akad ini juga dapat dilaksanakan
pada mudharabah yang modal pokoknya dicicil, sedangkan usahanya berjalan terus
dengan modal yang tetap.
2). Mudharabah (Trustee Profit Sharing) Kontrak
mudharabah[11] juga merupakan suatu bentuk equity financing, tetapi mempunyai
bentuk (feature) yang berbeda dari musyarakah. Pada mudharabah, hubungan
kontrak bukan antar pemberi modal, melainkan antara penyedia dana (shahibul
maal) dengan entrepreneur (mudharib). Pada kontrak mudharabah, seorang mudharib
(dapat berupa perorangan, rumah tangga perusahaan atau suatu unit ekonomi, termasuk
bank) memperoleh modal dari unit ekonomi lainnya untuk tujuan melakukan
perdagangan. Mudharib dalam kontrak ini menjadi trustee atas modal tersebut.
Jika proyek selesai, mudharib akan mengembalikan modal tersebut kepada penyedia
modal berikut porsi keuntungan yang telah disetujui sebelumnya. Bila terjadi
kerugian maka seluruh kerugian dipikul oleh shahibul maal. Sedang mudharib
kehilangan keuntungan (imbalan bagi-hasil) atas kerja yang telah dilakukannya.
Bank dan lembaga keuangan dalam kontrak ini dapat menjadi salah satu pihak.
Mereka dapat menjadi pengelola dana (mudharib) dalam hubungan mereka dengan
para penabung dan investor, atau dapat menjadi penyedia dana (shahibul maal)
dalam hubungan mereka dengan pihak pengguna dana. Ada dua tipe mudharabah,
yaitu Mutlaqah (tidak terikat) dan Muqayyadah (terikat).[12] a) Mudharabah
Mutlaqah: pemilik dana memberikan keleluasaan penuh kepada pengelola untuk
menggunakan dana tersebut dalam usaha yang dianggapnya baik dan menguntungkan.
Pengelola bertanggung jawab untuk mengelola usaha sesuai dengan praktek
kebiasaan usaha normal yang sehat (uruf). b) Mudharabah Muqayyadah: pemilik
dana menentukan syarat dan pembatasan kepada pengelola dalam penggunaan dana
tersebut dengan jangka waktu, tempat, jenis usaha dan sebagainya. Pengelola
menggunakan modal tersebut dengan tujuan yang dinyatakan secara khusus, yaitu
untuk menghasilkan keuntungan. b. Prinsip Jual-Beli Pengertian jual-beli
meliputi berbagai akad pertukaran (exchange contract) antara suatu barang dan
jasa dalam jumlah tertentu atas barang dan jasa lainnya. Penyerahan jumlah atau
harga barang dan jasa tersebut dapat dilakukan dengan segera (cash and carry)
ataupun secara tangguh (deferred). Oleh karenanya, untuk memenuhi kebutuhan
pembiayaan (debt financing) syarat-syarat al bai’ menyangkut berbagai tipe
kontrak jual-beli tangguh (deferred contract of exchange). Dalam hukum ekonomi
Islam, telah diidentifikasi dan diuraikan macam-macam jual-beli, termasuk jenis-jenis
jual-beli yang dilarang oleh Islam. Berdasarkan barang yang dipertukarkan, jual
beli terbagi empat macam;[13]
1) Bai’ al muthlaqah, yaitu pertukaran antara barang atau
jasa dengan uang. Uang berperan sebagai alat tukar. Jual-beli semacam ini
menjiwai semua produk-produk lembaga keuangan yang didasar-kan atas prinsip
jual-beli.
2) Bai’ al muqayyadah, yaitu jual-beli di mana pertukaran
terjadi antara barang dengan barang (barter). Aplikasi jual-beli semacam ini
dapat dilakukan sebagai jalan keluar bagi transaksi ekspor yang tidak dapat
menghasilkan valuta asing (devisa). Karena itu dilakukan pertukaran barang
dangan barang yang dinilai dalam valuta asing. Transaksi semacam ini lazim
disebut counter trade.
3) Bai’ al sharf, yaitu jual-beli atau pertukaran antara
satu mata uang asing dengan mata uang asing lain, seperti antara rupiah dengan
dolar, dolar dengan yen dan sebagainya. Mata uang asing yang diperjualbelikan
itu dapat berupa uang kartal (bank notes) ataupun dalam bentuk uang giral
(telegrafic transfer atau mail transfer). 4) Bai’ as salam adalah akad
jual-beli di mana pembeli membayar uang (sebesar harga) atas barang yang telah
disebutkan spesifikasinya, sedangkan barang yang diperjualbelikan itu akan
diserahkan kemudian, yaitu pada tanggal yang disepakati. Bai’ as salam biasanya
dilakukan untuk produk-produk pertanian jangka pendek. Sedangkan pembagian jual
beli berdasarkan harganya terbagi empat macam;[14]
1) Bai’ al murabahah adalah akad jual-beli barang tertentu.
Dalam transaksi jual-beli tersebut penjual menyebutkan dengan jelas barang yang
diperjualbelikan, termasuk harga pembelian dan keuntungan yang diambil.
2) Bai’ al musawamah adalah jual-beli biasa, di mana penjual
tidak memberitahukan harga pokok dan keuntungan yang didapatnya.
3) Bai’ al muwadha’ah yaitu jual-beli di mana penjual
melakukan penjualan dengan harga yang lebih rendah daripada harga pasar atau
dengan potongan (discount). Penjualan semacam ini biasanya hanya dilakukan
untuk barang-barang atau aktiva tetap yang nilai bukunya sudah sangat rendah.
4) Bai’ al-tauliyah, yaitu jual beli dimana penjual
melakukan penjualan dengan harga yang sama dengan harga pokok barang. Terdapat
bentuk jual-beli lain yang disebut dengan Bai’ al istishna’, yaitu kontrak
jual-beli di mana harga atas barang tersebut dibayar lebih dulu tapi dapat
diangsur sesuai dengan jadwal dan syarat-syarat yang disepakati bersama,
sedangkan barang yang dibeli diproduksi dan diserahkan kemudian. Di antara
jenis-jenis jual-beli tersebut, yang lazim digunakan sebagai model pembiayaan
syariah adalah pembiayaan berdasarkan prinsip bai’ al murabahah, bai’ as- salam
dan bai’ al istishna’. a. Al-Murabahah Murabahah adalah salah satu bentuk
jual-beli yang bersifat amanah. Bentuk jual-beli ini berlandaskan pada sabda
Rasulullah SAW dari Shuhaib ar Rumy r.a.: “Ada tiga hal yang mengandung berkah:
jual beli tidak secara tunai (murabahah), muqaradhah (nama lain dari
mudharabah) dan mencampur tepung dengan gandum untuk kepentingan rumah, bukan
untuk diperjualbelikan.”(HR. Ibnu Majah) Al Murabahah adalah kontrak jual-beli
atas barang tertentu. Pada transaksi jual-beli tersebut penjual harus
menyebutkan dengan jelas barang yang diperjualbelikan dan tidak termasuk barang
haram. Demikian juga, harga pembelian dan keuntungan yang diambil dan cara
pembayarannya harus disebutkan dengan jelas. Dalam teknis perbankan, murabahah
adalah akad jual-beli antara bank selaku penyedia barang (penjual) dengan
nasabah yang memesan untuk membeli barang. Bank memperoleh keuntungan dari
jual-beli yang disepakati bersama. Rukun dan syarat murabahah adalah sama
dengan rukun dan syarat dalam fiqih, sedangkan syarat-syarat lain seperti
barang, harga dan cara pembayaran adalah sesuai dengan kebijakan bank yang
bersangkutan. Harga jual bank adalah harga beli dari pemasok ditambah
keuntungan yang disepakati bersama. Jadi nasabah mengetahui keuntungan yang
diambil oleh bank. Selama akad belum berakhir maka harga jual-beli tidak boleh
berubah. Apabila terjadi perubahan maka akad tersebut menjadi batal. Cara pembayaran
dan jangka waktunya disepakati bersama, bisa secara lumpsum ataupun secara
angsuran. Murabahah dengan pembayaran secara angsuran ini disebut juga bai’ bi
tsaman ajil. Dalam prak-teknya nasabah yang memesan untuk membeli barang
menunjuk pemasok yang telah diketahuinya menyediakan barang dengan spesifikasi
dan harga yang sesuai dengan keinginannya. Atas dasar itu bank melakukan
pembelian secara tunai dari pemasok yang dikehendaki oleh nasabahnya, kemudian
menjualnya secara tangguh kepada nasabah yang bersangkutan. Melalui akad
murabahah, nasabah dapat memenuhi kebutuhannya untuk memperoleh dan memiliki
barang yang dibutuhkan tanpa harus menyediakan uang tunai lebih dulu. Dengan
kata lain nasabah telah memperoleh pembiayaan dari bank untuk pengadaan barang
tersebut. b. Bai’ as Salam Secara etimologi salam berarti salaf (dahulu). Bai’
as salam adalah akad jual-beli suatu barang di mana harganya dibayar dengan
segera, sedangkan barangnya akan diserahkan kemudian dalam jangka waktu yang
disepakati.[15] Beberapa landasan Syariah dapat disebutkan antara lain: Ibn
Abbas berkata: “Aku bersaksi bahwa salam yang dijamin untuk waktu tertentu
benar-benar dihalalkan oleh Allah dan diizinkan,” kemudian ia membaca ayat 282
dari QS Al Baqarah. Menjual sesuatu yang tidak ada pada diri penjual tidak
diperbolehkan. Sabda Rasulullah: “Janganlah kamu menjual barang yang tidak ada
padamu” (HR Ahmad, At Tarmidzi, dan Ibn Hibban). Oleh karena itu dalam bai’ as
salam harus ada jaminan bahwa penyediaan barang yang dipesan dapat dipenuhi.
Ibnu Abbas r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW tiba di Madinah di mana
mereka melakukan salaf untuk penjualan buah-buahan dengan jangka waktu satu
tahun atau dua tahun, lalu beliau bersabda: “Barangsiapa yang melakukan salaf
hendaknya melakukannya dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula,
sampai pada batas waktu tertentu.”(HR. Bukhari)[16] Dalam teknis perbankan
syariah, salam berarti pembelian yang dilakukan oleh bank dari nasabah dengan
pembayaran di muka dengan jangka waktu penyerahan yang disepakati bersama.
Harga yang dibayarkan dalam salam tidak boleh dalam bentuk utang melainkan
dalam bentuk tunai yang dibayarkan segera. Tentu saja bank tidak bermaksud
hanya melakukan salam untuk memperoleh barang. Barang itu harus dijual lagi
untuk memperoleh keuntungan. Oleh karena itu dalam prakteknya transaksi
pembelian salam oleh bank selalu diikuti atau dibarengi dengan transaksi
penjualan kepada pihak atau nasabah lainnya. Apabila penjualan barang itu juga
dilakukan dalam bentuk salam, maka transaksi itu menjadi paralel salam. Bank
dapat juga melakukan penjualan barang itu dengan menggunakan skema murabahah.
Pada umumnya nasabah yang memerlukan fasilitas salam adalah nasabah yang
menerima pesanan dari pelanggannya dengan syarat bahwa harga atas barang itu
akan dibayar setelah barang diserahkannya. Sementara nasabah tidak memiliki
dana yang cukup untuk melakukan pengadaan barang yang dipesan tersebut. Agar
nasabah dapat memperoleh dana yang dibutuhkan itu maka ia bukan melakukan penjualan
langsung kepada pemesannya, melainkan menjual kepada bank dengan salam dan
posisinya sebagai penjual terhadap pemesannya digantikan oleh bank. Tentu saja
harga dalam jual-beli antara bank dengan nasabah produsen itu lebih rendah
daripada harga yang disepakati antara produsen dengan pemesan barang. Selisih
harga itu menjadi keuntungan bank. c. Bai’ al-Istishna’ Bai’ al-Istishna’
adalah akad jual-beli antara pemesan/pembeli (mustashni’) dengan
produsen/penjual (shani’) di mana barang yang akan diperjualbelikan harus
dibuat lebih dulu dengan kriteria yang jelas. Istishna’ hampir sama dengan bai’
as salam, bedanya hanya terletak pada cara pembayarannya; pada salam,
pembayarannya harus dimuka dan segera, sedang pada istishna’ pembayarannya
boleh di awal, di tengah atau di akhir, baik sekaligus ataupun secara bertahap.
Dalam prakteknya bank bertindak sebagai penjual (shani’ ke-1) kepada
pemesan/pembeli dan mensubkannya kepada produsen (shani’ ke-2). 3. Prinsip Sewa
dan Sewa-Beli Sewa (ijarah) dan sewa-beli (ijarah wa iqtina’ atau disebut juga
ijarah muntahiyah bi tamlik) oleh para ulama dianggap sebagai model pembiayaan
yang dibenarkan oleh syariah Islam. Model ini secara konvensional dikenal
sebagai operating lease dan financing lease. Al ijarah atau sewa adalah kontrak
yang melibatkan suatu barang (sebagai harga) dengan jasa atau manfaat atas
barang lainnya. Penyewa dapat juga diberi opsi untuk memiliki barang yang
disewakan tersebut pada saat sewa selesai, dan kontrak ini disebut al ijarah wa
iqtina’ atau al ijarah muntahiyah bi tamlik, di mana akad sewa yang terjadi
antara bank (sebagai pemilik barang) dengan nasabah (sebagai penyewa) dengan
cicilan sewanya sudah termasuk cicilan pokok harga barang.
4. Prinsip Qard
Qard adalah meminjamkan harta kepada orang lain tanpa
mengharap imbalan[17]. Dalam literatur fiqih qard dikategorikan sebagai aqd
tathawwu’, yaitu akad saling membantu dan bukan transaksi komersial. Dalam
rangka mewujudkan tanggung jawab sosialnya, bank Islam dapat memberikan
fasilitas yang disebut al qard al hasan, yaitu penyediaan pinjaman dana kepada
pihak-pihak yang patut mendapatkannya. Secara syariah peminjam hanya
berkewajiban membayar kembali pokok pinjamannya, walaupun syariah membolehkan
peminjam untuk memberikan imbalan sesuai dengan keikhlasannya, tetapi bank sama
sekali dilarang untuk meminta imbalan apapun. Bank juga dapat menggunakan akad
ini sebagai produk pelengkap untuk memfasilitasi nasabah yang membutuhkan dana
talangan segera untuk jangka waktu yang sangat pendek
5. Prinsip Al Wadi’ah
Wadi’ah menurut bahasa adalah sesuatu yang diletakkan pada
yang bukan pemiliknya untuk dijaga. Barang yang dititipkan disebut ida’, yang
menitipkan disebut mudi’ dan yang menerima titipan disebut wadi’[18]. Dengan
demikian maka pengertian istilah wadi’ah adalah akad antara pemilik barang
(mudi’) dengan penerima titipan (wadi’) untuk menjaga harta/modal (ida’) dari
kerusakan atau kerugian dan untuk keamanan harta. Ada dua tipe wadi’ah, yaitu
wadi’ah yad amanah dan wadi’ah yad dhamanah.[19] a). Wadi’ah Yad Amanah Wadi’ah
yad amanah adalah akad titipan di mana penerima titipan (custodian) adalah
penerima kepercayaan (trustee), artinya ia tidak diharuskan mengganti segala
risiko kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada aset titipan, kecuali bila hal
itu terjadi karena akibat kelalaian atau kecerobohan yang bersangkutan atau
bila status titipan telah berubah menjadi wadi’ah yad dhamanah. Di bawah
prinsip yad amanah ini aset titipan dari setiap pemilik harus dipisahkan, dan
aset tersebut tidak boleh dipergunakan dan custodian tidak berhak untuk
memanfaatkan aset titipan tersebut. Status penerima titipan berdasarkan wadi’ah
yad amanah akan berubah menjadi wadi’ah yad dhamanah apabila terjadi salah
satu dari dua hal ini: (1) harta dalam titipan telah dicampur, dan (2)
custodian menggunakan harta titipan. Penerapannya dalam perbankan dapat
dilihat, misalnya dalam pelayanan jasa penitipan surat-surat berharga
(custodian). b). Wadi’ah Yad Dhamanah Wadi’ah Yad Dhamanah adalah akad titipan
di mana penerima titipan (custodian) adalah trustee yang sekaligus penjamin
(guarantor) keamanan aset yang dititipkan. Penerima simpanan bertanggung jawab
penuh atas segala kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada aset titipan
tersebut. Dengan prinsip ini, custodian menerima simpanan harta dari pemiliknya
yang memerlukan jasa penitipan, dan penyimpan mempunyai kebebasan mutlak untuk
menariknya kembali sewaktu-waktu. Di bawah prinsip ini harta titipan tidak
harus dipisahkan dan dapat di-gunakan dalam perdagangan, dan custodian berhak
atas pendapatan yang diperoleh dari pemanfaatan harta titipan dalam
perdagangan. Jadi, custodian memperoleh izin dari pemilik harta untuk
menggunakannya dalam perniagaan selama harta tersebut berada di tangannya.
Penyimpan sewaktu-waktu dapat menarik sebagian atau seluruh harta yang mereka
miliki. Dengan demikian mereka memerlukan jaminan penerimaan kembali atas
simpanan mereka. Semua keuntungan yang dihasilkan dari penggunaan harta tersebut
selama dalam status simpanan adalah menjadi hak custodian. Tetapi custodian
diperbolehkan memberikan bonus kepada pemilik harta atas kehendaknya sendiri,
tanpa diikat oleh perjanjian.
6. Prinsip Lainnya
a). Prinsip Rahn Rahn menurut Syariah adalah menahan sesuatu
dengan cara yang dibenarkan yang memungkinkan untuk ditarik kembali.[20] Yaitu
menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan Syariah sebagai
jaminan utang, sehingga orang yang bersangkutan boleh mengambil utang semuanya
atau sebagian. Dengan kata lain Rahn adalah akad menggadaikan barang dari satu
pihak kepada pihak lain, dengan utang sebagai gantinya. Rahn adalah satu jenis
transaksi tabaru’, karena apa yang diberikan Rahin (pemilik barang) untuk
murtahin (pemegang barang) bukan atas imbalan akan sesuatu,[21] ia termasuk
transaksi (uqud) ‘ainiyah, di mana tidak dianggap sempurna secuali bila sudah
diterima ‘ain al ma’qud. Dan akad (transaksi) jenis ini ada lima, yaitu hibah,
i’arah, ida’, qard dan rahn. Tabaru’ itu tidak sempurna kecuali dengan qard.
Dalam teknis perbankan, akad ini dapat digunakan sebagai tambahan pada
pembiayaan yang berisiko dan memerlukan jaminan tambahan. Akad ini juga dapat
menjadi produk tersendiri untuk melayani kebutuhan nasabah guna keperluan yang
bersifat jasa dan konsumtif, seperti pendidikan, kesehatan dan sebagainya. Bank
atau lembaga keuangan tidak menarik manfaat apapun kecuali biaya pemeliharaan
atau keamanan barang yang digadaikan tersebut.
b). Prinsip Wakalah Wakalah adalah akad perwakilan antara
dua pihak, di mana pihak pertama mewakilkan suatu urusan kepada pihak kedua
untuk bertindak atas nama pihak pertama.[22] Ada beberapa jenis wakalah, antara
lain: Ø Wakalah al mutlaqah, yaitu mewakilkan secara mutlak, tanpa batasan
waktu dan untuk segala urusan. Ø Wakalah al muqayyadah, yaitu penunjukan wakil
untuk bertindak atas namanya dalam urusan-urusan tertentu. Ø Wakalah al ammah,
perwakilan yang lebih luas dari al muqayyadah tetapi lebih sederhana daripada
al mutlaqah. Dalam aplikasinya pada perbankan Syariah, Wakalah biasanya
diterapkan untuk penerbitan Letter of Credit (L/C) atau penerusan permintaan
akan barang dalam negeri dari bank di luar negeri (L/C ekspor). Wakalah juga
diterapkan untuk mentransfer dana nasabah kepada pihak lain.
c). Prinsip Kafalah Istilah kafalah menurut mazhab Hanafi
adalah memasukkan tanggung jawab seseorang ke dalam tanggung jawab orang lain
dalam suatu tuntutan umum, dengan kata lain menjadikan seseorang ikut
bertanggung jawab atas tanggung jawab orang lain yang berkaitan dengan masalah
nyawa, utang atau barang. Meskipun demikian penjamin yang ikut bertanggung
jawab tersebut tidak dianggap berutang, dan utang pihak yang dijamin tidak
gugur dengan jaminan pihak penjamin. Sedangkan menurut mazhab Maliki, Syafi’i
dan Hambali, kafalah adalah menjadikan seseorang (penjamin) ikut bertanggung
jawab atas tanggung jawab seseorang dalam pelunasan/pembayaran utang, dan
dengan demikian keduanya dipandang berutang. Ulama sepakat tentang bolehnya
kafalah, karena sangat dibutuhkan dalam muamalah masyarakat, dan agar yang
berpiutang tidak dirugikan dengan ketidakmampuan orang yang berutang.[23] Dalam
lembaga keuangan, akad ini terlihat dalam penerbitan garansi bank (bank
guarantee). Ada tiga jenis kafalah, yaitu: 1) Kafalah bin nafs, yaitu jaminan
dari diri si penjamin (personal guarantee); 2) Kafalah bil maal, yaitu jaminan
pembayaran utang atau pelunasan utang. Aplikasinya dalam perbankan dapat
berbentuk jaminan uang muka (advance payment bond) atau jaminan pembayaran (payment
bond). 3) Kafalah muallaqah, yaitu jaminan mutlak yang dibatasi oleh kurun
tertentu dan untuk tujuan tertentu. Dalam perbankan modern hal ini diterapkan
untuk jaminan pelaksanaan suatu proyek (performance bonds) atau jaminan
penawaran (bid bonds).
d). Prinsip Hawalah Hawalah adalah akad pemindahan
utang/piutang suatu pihak kepada pihak lain. Dalam hal ini ada tiga pihak,
yaitu pihak yang berutang (muhil atau madin), pihak yang memberi utang (muhal
atau da’in) dan pihak yang menerima pemindahan (muhal ‘alaih).[24] Menurut
mazhab Hanafi ada dua jenis hawalah, yaitu: 1) Hawalah mutlaqah: Seseorang
memindahkan utangnya kepada orang lain dan tidak mengaitkan dengan utang yang
ada pada orang itu. Menurut ketiga mazhab lain selain Hanafi, kalau muhal
‘alaih tidak punya utang kepada muhil, maka hal ini sama dengan kafalah, dan
ini harus dengan keridaan tiga pihak (da’in, madin dan muhal ‘alaih). 2)
Hawalah Muqayyadah: Seseorang memindahkan utang dan mengaitkan dengan piutang
yang ada padanya. Inilah hawalah yang boleh (jaiz) berdasarkan kesepakatan para
ulama. Ketiga mazhab selain mazhab Hanafi hanya membolehkan hawalah muqayyadah
dan mensyariatkan pada hawalah muqayyadah agar utang muhal kepada muhil dan
utang muhal ‘alaih kepada muhil harus sama, baik sifat maupun jumlahnya. Kalau
sudah sama jenis dan jumlahnya maka sahlah hawalah. Kalau berbeda salah
satunya, maka hawalah tidak sah. Di pasar keuangan konvensional praktek hawalah
dapat dilihat pada transaksi anjak piutang (factoring). Namun sebagaimana
diuraikan di atas, kebanyakan ulama tidak memperbolehkan mengambil manfaat
(imbalan) atas pemindahan utang/piutang tersebut.
e). Prinsip Ju’alah Ju’alah adalah suatu kontrak di mana
pihak pertama menjanjikan imbalan tertentu kepada pihak kedua atas pelaksanaan
suatu tugas/ pelayanan yang dilakukan oleh pihak kedua untuk kepentingan pihak
pertama.[25] Prinsip ini dapat diterapkan oleh bank dalam menawarkan berbagai
pelayanan dengan mengambil fee dari nasabah, seperti Referensi Bank, Informasi
Usaha dan sebagainya. Prinsip ini juga digunakan oleh Bank Indonesia dalam
Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) f). Prinsip Sharf Sharf adalah
transaksi pertukaran antara emas dengan perak atau pertukaran valuta asing, di
mana mata uang asing dipertukarkan dengan mata uang domestik atau dengan mata
uang asing lainnya[26]. Bank Islam sebagai lembaga keuangan dapat menerapkan
prinsip ini, dengan catatan harus memenuhi syarat-syarat yang disebutkan dalam
beberapa hadits, antara lain: (1) harus tunai; (2) serah terima harus
dilaksanakan dalam majelis kontak; dan (3) bila dipertukarkan mata uang yang
sama harus dalam jumlah/kuantitas yang sama. /span
SISTEM OPERASIONAL PERBANKAN SYARIAH
Penghimpunan
1. Prinsip Wadiah
- Al Wadiah artinya titipan murni dari satu pihak ke pihak yang lain. Didalam aplikasi perbankkan mengacu pada Al-Wadiah yad adh-dhamanah.
2. Prinsip Mudharabah
- Akad Mudharabah merupakan suatu transaksi pendanaan atau investasi berdasarkan kepercayaan.
- Secara teknis Mudharaba adalah akad kerja sama usaha antara pemilik dana dan pengelola dana untuk melakukan kegiatan usaha, laba dibagi atas dasar nisbah bagi hasil menurut kesepakatan kedua belah pihak, sedangkan bila terjadi kerugian akan ditanggung oleh si pemilik dana kecuali disebabkan oleh misconduct, negligence atau violation oleh pengelola dana.
- Jenis Akad Mudharabah:
1. Mudharabah Muthlaqah
Mudharabah yang pemilik dananya memberikan kebebasan kepada pengelola dana dalam pengelolaan investasinya.
2. Mudharabah Muqayyadah
Mudharabah yang pemilk dananya memberikan batasan kepada pengelola dana mengenai lokasi, cara dan atau objek investasi/sektor usaha.
3. Mudharabah Musytarakah
Mudharabah yang pengelola dananya turut menyertakan modal atau dananya dalam kerja sama investasi, prinsip bagi hasil ( revenue sharing ) atau bagi laba (profit sharing).
PENYALURAN
Prinsip Jual Beli
1. Akad Salam, Salam paralel
Merupakan akad salam dimana barang tidak dimiliki oleh penjual dan penjual memesannya kepada pemasok lainnya.Akad ini juga diizinkan syariah asalkan antara ke dua akad tersebut tidak saling tergantung atau menjadi syarat, selain itu akad antara penjual dan pemasok terpisah dari akad antara pembeli dan penjual.
2. Akad Istishna, Istishna Paralel
Akad Istishna adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesanan (pembeli/mustashni) dan penjual (pembuat/shani).Istishna dapat dilakukan langsung antara dua belah pihak antara pemesan atau penjual seperti, atau melalui perantara. Jika dilakukan melalui perantara maka akad disebut dengan akad Istishna’ paralel.
3. Akad Mudarabahah
Akad Mudarabahah adalah transaksi penjualan barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli. Pembayaran atas akad jual beli dapat dilakukan secara tunai atau tangguh( Bai’ Mu’ajjal).
4. Akad Ijarah
Akad Ijarah adalah akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dan jasa, dalam waktu tetentu dengan pembayaran upah sewa (ujrah, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri.
Prinsip Bagi Hasil
1. Mudharabah
Adalah akad kerja sama usaha antara pemilik dana dan pengelola dana untuk melakukan kegiatan usaha.
2. Musyarakah
Adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi modal dengan ketentuan bahwa keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan sedangkan kerugian berdasarkan kontribusi modal.
Jasa Keuangan
1. Akad Al- Wakalah
Adalah akad mewakilkan sesuatu kepada pihak lain .Wakalah sesuai dengan syariah Islam sepanjang memenuhi ketentuan yang ada.
2. Akad Al-Kafalah
Adalah akad tentang menjaminkan sesuatu barang kepada pihak lain. Dalam syariah Islam, akad ini tidak menyebabkan perpindahan kepemilikkan aset yang dijaminkan, aset tetap dimiliki oleh pemilik aset. Walaupun pemilik aset tidak dapat membayar utang yang terkait dengan kafalah tersebut.
3. Akad Hiwalah
Adalah akad tentang mengalihkan hak atau kewajiban. Dalam pengalihan tersebut harus ada kepercayaan untuk melakukannya dan ketika pengalihan yang mengambil alih akan menerima komisi (fee). Akad ini sesuai dengan syariah sepanjang memenuhi ketentuan syariah.
4. Akad Rahn
Adalah akad tentang gadai. Akad ini sesuai syariah sepanjang memenuhi ketentuan syariah.
5. Akad Qordhul Hasan
Adalah akad pengelolaan dana kebajikan yang dilakukan secara terpisah pengelolaannya dengan pengelolaan perusahaan.
6. Akad Sharf
Adalah akal jual beli mata uang asing, akad ini sesuai syariah sepanjang dilakukan langsung dan tunai.
Penghimpunan
1. Prinsip Wadiah
- Al Wadiah artinya titipan murni dari satu pihak ke pihak yang lain. Didalam aplikasi perbankkan mengacu pada Al-Wadiah yad adh-dhamanah.
2. Prinsip Mudharabah
- Akad Mudharabah merupakan suatu transaksi pendanaan atau investasi berdasarkan kepercayaan.
- Secara teknis Mudharaba adalah akad kerja sama usaha antara pemilik dana dan pengelola dana untuk melakukan kegiatan usaha, laba dibagi atas dasar nisbah bagi hasil menurut kesepakatan kedua belah pihak, sedangkan bila terjadi kerugian akan ditanggung oleh si pemilik dana kecuali disebabkan oleh misconduct, negligence atau violation oleh pengelola dana.
- Jenis Akad Mudharabah:
1. Mudharabah Muthlaqah
Mudharabah yang pemilik dananya memberikan kebebasan kepada pengelola dana dalam pengelolaan investasinya.
2. Mudharabah Muqayyadah
Mudharabah yang pemilk dananya memberikan batasan kepada pengelola dana mengenai lokasi, cara dan atau objek investasi/sektor usaha.
3. Mudharabah Musytarakah
Mudharabah yang pengelola dananya turut menyertakan modal atau dananya dalam kerja sama investasi, prinsip bagi hasil ( revenue sharing ) atau bagi laba (profit sharing).
PENYALURAN
Prinsip Jual Beli
1. Akad Salam, Salam paralel
Merupakan akad salam dimana barang tidak dimiliki oleh penjual dan penjual memesannya kepada pemasok lainnya.Akad ini juga diizinkan syariah asalkan antara ke dua akad tersebut tidak saling tergantung atau menjadi syarat, selain itu akad antara penjual dan pemasok terpisah dari akad antara pembeli dan penjual.
2. Akad Istishna, Istishna Paralel
Akad Istishna adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesanan (pembeli/mustashni) dan penjual (pembuat/shani).Istishna dapat dilakukan langsung antara dua belah pihak antara pemesan atau penjual seperti, atau melalui perantara. Jika dilakukan melalui perantara maka akad disebut dengan akad Istishna’ paralel.
3. Akad Mudarabahah
Akad Mudarabahah adalah transaksi penjualan barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli. Pembayaran atas akad jual beli dapat dilakukan secara tunai atau tangguh( Bai’ Mu’ajjal).
4. Akad Ijarah
Akad Ijarah adalah akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dan jasa, dalam waktu tetentu dengan pembayaran upah sewa (ujrah, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri.
Prinsip Bagi Hasil
1. Mudharabah
Adalah akad kerja sama usaha antara pemilik dana dan pengelola dana untuk melakukan kegiatan usaha.
2. Musyarakah
Adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi modal dengan ketentuan bahwa keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan sedangkan kerugian berdasarkan kontribusi modal.
Jasa Keuangan
1. Akad Al- Wakalah
Adalah akad mewakilkan sesuatu kepada pihak lain .Wakalah sesuai dengan syariah Islam sepanjang memenuhi ketentuan yang ada.
2. Akad Al-Kafalah
Adalah akad tentang menjaminkan sesuatu barang kepada pihak lain. Dalam syariah Islam, akad ini tidak menyebabkan perpindahan kepemilikkan aset yang dijaminkan, aset tetap dimiliki oleh pemilik aset. Walaupun pemilik aset tidak dapat membayar utang yang terkait dengan kafalah tersebut.
3. Akad Hiwalah
Adalah akad tentang mengalihkan hak atau kewajiban. Dalam pengalihan tersebut harus ada kepercayaan untuk melakukannya dan ketika pengalihan yang mengambil alih akan menerima komisi (fee). Akad ini sesuai dengan syariah sepanjang memenuhi ketentuan syariah.
4. Akad Rahn
Adalah akad tentang gadai. Akad ini sesuai syariah sepanjang memenuhi ketentuan syariah.
5. Akad Qordhul Hasan
Adalah akad pengelolaan dana kebajikan yang dilakukan secara terpisah pengelolaannya dengan pengelolaan perusahaan.
6. Akad Sharf
Adalah akal jual beli mata uang asing, akad ini sesuai syariah sepanjang dilakukan langsung dan tunai.
http://asdarmunandar.blogspot.com/2012/03/prinsip-dasar-dan-perkembangan-bank_3017.html
Secara garis besar aqad dalam fiqih muamalah adalah sebagai berikut :
1. Aqad mudharabah
Ikatan atau aqad Mudharabah pada hakikatnya adalah ikatan penggabungan atau pencampuran berupa hubungan kerjasama antara Pemilik Usaha dengan Pemilik Harta
2. Aqad musyarakah
Ikatan atau aqad Musyarakah pada hakekatnya adalah ikatan penggabungan atau pencampuran antara para pihak yang bersama-sama menjadi Pemilik Usaha,
3. Aqad perdagangan
Aqad Fasilitas Perdagangan adalah perjanjian pertukaran yang bersifat keuangan atas suatu transaksi jual-beli dimana salah satu pihak memberikan fasilitas penundaan pembayaran atau penyerahan obyek sehingga pembayaran atau penyerahan tersebut tidak dilakukan secara tunai atau seketika pada saat transaksi.
4. Aqad ijarah
Aqad Ijarah adalah aqad pemberian hak untuk memanfaatkan Obyek melalui penguasaan sementara atau peminjaman Obyek dgn Manfaat tertentu dengan membayar imbalan kepada pemilik Obyek. Ijara mirip dengan leasing namun tidak sepenuhnya sama dengan leasing, karena Ijara dilandasi adanya perpindahan manfaat tetapi tidak terjadi perpindahan kepemilikan.
http://elshidiqy.blogspot.com/2010/12/fiqih-muamalat-pengertian-ruang.html
Langganan:
Postingan (Atom)